Pengertian Kritik Sastra
Kritik sastra aalah salah satu objek studi sastra (cabang ilmu sastra) yang melakukan analisis, penafsiran, serta juga penilaian terhadap teks sastra.
Ciri-ciri Kritik Sastra
Adapaun Ciri-Ciri Sastra antara lain ialah sebagai berikut :
Bersifat obyektif.
Bertujuan untuk dapat membangun, memperbaiki karya.
Menjadi bahan acuan untuk meningkatkan kreativitas pencipta karya sastra.
Fungsi Kritik Sastra
Menurut Pradopo, fungsi utama dari kritik sastra ini dapat digolongkan menjadi tiga (2) yakni :
- Untuk perkembangan ilmu sastra sendiri, artinya Kritik sastra tersebt dapat membantu dalam penyusunan teori sastra serta juga sejarah sastra yang tersirat dalam ungkapan dari Rene wellek, “Karya sastra tidak dapat dianalisis, digolong-golongkan, serta juga dinilai tanpa adanya dukungan prinsip- prinsip kritik sastra.”
- Untuk perkembangan kesusastraan artinya, kritik sastra tersebut membantu perkembangan kesusastraan bangsa dengan memberi penjelasan bahwa sebuah karya sastra itu , tentang baik buruknya, serta juga menunjukkan wilayah-wilayah jangkauan persoalan karya sastra.
Fungsi Kritik Sastra Bagi Pembaca dan Penulis
Dengan verdasarkan uraian di atas, maka fungsi kritik sastra tersebut dapat digolongkan menjadi dua:
1. Fungsi kritik sastra bagi para pembaca:
Untuk Membantu memahami suatu karya sastra, Menunjukkan keindahan (estetika) yang terdapat dalam suatu karya sastra, Menunjukkan parameter ataupun ukuran dalam menilai suatu karya sastra, dan Menunjukkan nilai-nilai misalnya pesan moral yang dapat dipetik dari sebuah karya sastra.
2. Fungsi kritik sastra bagi si pengarang/penulis:
Untuk Mengetahui kekurangan atau juga kelemahan karyanya, Mengetahui kelebihan karyanya, dan Mengetahui masalah-masalah yang mungkin akan dijadikan tema tulisannya.
Manfaat Kritik Sastra
Manfaat dari kritik sastra tersebut dapat diuraikan menjadi 3, yaitu:
1. Manfaat kritik sastra bagi penulis Untuk Memperluas wawasan penulis, baik itu yang berkaitan dengan bahasa, objek atau tema-tema tulisan, serta juga teknik bersastra.
Menumbuhkan motivasi untuk menulis dan meningkatkan kualitas pada tulisan.
2. Manfaat kritik sastra bagi pembaca Artinya untuk menjadi jembatan kesenjangan antara pembaca serta karya sastra, Menumbuhkan kecintaan pembaca terhadap suatu karya sastra dan Meningkatkan kemampuan dalam mengapresiasi suatu karya sastra
3. Manfaat kritik sastra bagi perkembangan sastra adalah untuk Mendorong laju perkembangan sastra, baik secara kualitatif ataupun kuantitatif serta untuk memperluas cakrawala atau juga permasalahan yang tedapat dalam karya sastra.
Jenis – jenis Pendekatan Kritik Sastra
Abrams (1981: 36-37) membagi pendekatan pada sebuah karya sastra ke dalam empat (4) tipe yakni:
1. Kritik Mimetik
Kritik jenis tersebut memandang suatu karya sastra ialah sebagai tiruan aspek-aspek alam. Kritik jenis ini dipengaruhi oleh paham Aristoteles serta Plato, yang menyatakan bahwa sastra merupakan tiruan kenyataan dan kritik jenis ini banyak di gunakan di Indonesia Angkatan 45.
2. Kritik Pragmatik
Kritik jenis ini memandang karya sastra ialah sebagai alat untuk dapat mencapai sebuah tujuan karya sastra yaitu bersifat edukatif, estetis, atau juga politis.
3. Kritik Ekspresif
Kritik ekspresif ini menitikberatkan pada diri penulis karya sastra itu. Kritik ekspresif tersebut meyakini bahwa sastrawan (penulis) karya sastra merupakan unsur pokok yang melahirkan pikiran-pikiran, persepsi-persepsi, serta juga perasaan yang dikombinasikan atau dituangkan kedalam sebuah karya sastra.
Dengan menggunakan kritik jenis ini, kritikus cenderung menimba karya sastra dengan berdasarkan kemulusan, kesejatian, kecocokan penglihatan mata batin penulis atau juga keadaan pikirannya.
Pendekatan ini sering mencari fakta mengenai watak khusus serta juga pengalaman-pengalaman sastrawan yang, dengan secara sadar atau tidak, sudah membuka dirinya dalam karyanya sastrawan romantik pada zaman Balai Pustaka juga Pujangga Baru itu menggunakan jenis orientasi ekspresif ini didalam teori-teori kritikannya di Indonesia, contoh kritik sastra jenis ini antara lain:
“Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan” karya Arif Budiman.
“WS Rendra dan Imajinasinya” karya Anton J. Lake.
“Di Balik Sejumlah Nama” karya Linus Suryadi.
“Sosok Pribadi dalam Sajak” karya Subagio Sastro Wardoyo.
“Cerita Pendek Indonesia: Sebuah Pembicaraan” karya Korrie Layun Rampan.
4. Kritik Objektif
Kritik jenis ini memandang karya sastra ialah sebagai sesuatu yang mandiri, bebas terhadap lingkungan sekitarnya; dari penyair, pembaca, serta juga dunia sekitarnya. Karya sastra itu merupakan sebuah keseluruhan yang mencakupi atau melingkupi dirinya,yang di susun dari bagian-bagian yang saling berkaitan dan berjalinan erat dengan secara batiniah serta juga menghendaki pertimbangan dan tentu analitis dengan kriteria-kriteria intrinsik dengan berdasarkan suatu keberadaan (koherensi, keseimbangan, integritas, kompleksitas, dan saling berhubungan antar unsur-unsur pembentuknya).
Jadi, unsur intrinsik (objektif)) tersebut tidak hanya terbatas pada alur, tema, tokoh, dsb.; namun juga mencakup kompleksitas, koherensi, kesinambungan, integritas, dan lain sebagainya.Pendekatan pada kritik sastra jenis objekti ini menitikberatkan pada karya-karya sastra itu sendiri. Kritik jenis objektif ini mulai dan berkembang sejak tahun 20-an serta melahirkan teori-teori:
New Critics di AS
Formalisme di Eropa
Strukturalisme di Perancis
Di Indonesia, kritik jenis tersebut dikembangkan oleh kelompok kritikus aliran Rawamangun:
“Bentuk Lakon dalam Sastra Indonesia” karya Boen S. Oemaryati.
“Novel Baru Iwan Simatupang” karya Dami N. Toda.
“Pengarang-Pengarang Wanita Indonesia” karya Th. Rahayu Prihatmi.
“Perkembangan Novel-Novel di Indonesia” karya Umar Yunus.
“Perkembangan Puisi Indonesia dan Melayu Modern” karya Umar Yunus.
“Tergantung pada Kata ” karya A. Teeuw.
Kritik Sastra Terapan pada Periode 1956-1975
Telah dibicarakan dalam bagian 4 bahwa pada periode ini ada bermacam-macam corak kritik sastra, yaitu Kritik Sastra Angakatan 45, Lekra, Kritik Sastra Revolusioner, kritik sastra para sastrawan baru. Di samping itu, timbul kritik sastra dari kaum akademis yang terkenal dengan kritik sastra akademis atau kritik sastra ilmiah, yang berkembang mulai sekitar pertengahan tahun 1950-an, kritik sastra ini sesungguhnya sudah diawali oleh kritik sastra Slametmaljuna yang bercorak ilmiah pada awal tahun 1950-an. Kritik sastrawan baru yang menantang kritik akademik ialah kritik sastra metode Ganzheit.
- Kelompok Kritikus satrwan
Dapat dikatakan kritik sastra terapan para kritkus dari kalangan sastrawan tidak menunjukkan adanya perbedaan dengan kritik terapan para tokoh Angkatan 45 orientasi kritik mereka sering kali objektif. Sampai tahun 1960 kritik terapan yang membahas kritik sastra tertentu tidak seberapa banyak dalam periode ini kritik terapan berupa pembicaraan sastra Indonesia secara umum, tidak menunjuk karya tertentu dan berupa penilain secara umum. Kecuali kritik terapan Ajiip Rosidi yang membicarakan cerpen-cerpen para sastrawan indonesia secara keseluruhan dari seluruh periode sastra Indonesia.
Demikian juga, kritik terapan Harijadi S. Hartowardojo yang berjudul “Puisi Sesudah Chairil Anwar” (1956), ia memberikan ciri yang umum pada sajak-sajak Chairil Anwar, secara impresionistik. Menurut Harijadi, Chairil Anwar meletakkan titik berat tanggung jawab baik bentuk maupun isi pada orang-seorang tampak padanya bahwa keuletan dan vitalitas itu menjadi unsur penting dalam puisi.
Dikemukakannya bahwa pada awal tahun 1950-an itu hanya Sitor Situmorang yang penuh dengan keinsafan melanjutkan memperluas dasar-dasar penilain kata yang diletakkan oleh Chairil Anwar. Sitor Situmorang memberikan nafas baru pada puisi indonesia baik dalam bentuk mauoun isinya. Dikemukakan pula bahwa Sitor Situmorang dalam arti masih terbatas, kenalkan filsafat eksistensialisme sartre ia bersandar pada ucapan Sitor Situmorang bahwa puisi ia itu untuk melucuti kedok kekacaun, bahwa seni menolak kekacaun dan mencari keseimbangan.
Dengan melihat urai itu, kelihatan kritik terapan Harijadi sangat impresionistik, kurang atu tidak diberi bukti, tidak ada analisis yang merenik, hanya garis besar, tidak menunjukkan karya tertentu, sifatnya sangat umum, dengan penilain yang sangat umum pula.
Pada tahun 1950-an biasa kritik-kritik terhadap puisi selalu membandingkan puisi yang dibahas dengan puisi Chairil Anwar, hal ini tampak dalam kritik H.B. Jassin dan kritikus lainnya, misalnya kritik Balfas, seorang Tokoh Angakatan 45, membahas sajak kumpulan Toto Sudarto Bachtiar Suara dibandingkan dengan sajak Chairil Anwar. Maka kriteria yang dipergunakan Balfas adalah: sampai kemanakah Chairil Anwar sudah dapat dilepaskan.dapat dikatakan sastrwan yang paling banyak menulis kritik terapan pada periode ini adalah Ajib Rosidi yang telah menulis sajajk pertengahan tahun 1950-an. Sesudah tahun 1960 sastrawan kritikus yang banyak menulis kritik terapan adalah Goenawan Mohamad dan Subagio Sastrowardojo.
Kritik terapan pada periode ini, sebagaimana kritik pada periode Angkatan 45, sering kali dikenalkan pada sastrawan meskipun juga meyangkut karya sastranya. kritik terapan demikian biasanya berorientasi ekspresif, menganggap sastra sebagai curahan, perasaan, pikiran, dam pernyataan jiwa sastrwan.
Kritik terapan demikian biasanya dimulai dengan pembicraan sastrwannya: tanggal lahir, keluarga, sekolah, kegiatan-kegiatan seni, dan kegiatan sastranya, pendek kata, pengalaman dan riwayat hidup sastrawan. Begitulah permulaan kritik terapan Subadhi terhadap W.S. Rendra.
Sesudah itu, karya sastra dikritik dengan orientasi ekspresif, (yaitu sajak karya sastra) sesuai dengan latar belakang kehidupan sastrawan meskipun karya sastra itu juga dibicarakan berdasrkan kenyataan yang ada didalamnya, yang sesungguhnya berorientasi obektif.
Periode ini, mulai tampak adanya krtik terapan yang berupa studi mengenai genre sastra tertentu, yaitu studi mengenai cerita pendek Indonesia modern yang dilakukan oleh Ajib Rosidi berjudul Cerita Pendek Indonesia. Kritik Ajip Rosidi ini membicarakan cerita pendek Indonesia modern dari periode Balai Pustaka, dimulai dengan kumpulan cerpen M. Kasim Teman Duduk sampai cerpen akhir tahun 1950-an pada terbitan pertama (1959) dan pada terbitan kedua (1968) di tambah cerpen awal tahun 1960-an dengan karya Trisno Sumardjo Daun Kering (1962).
Tampak corak kritik terapan para sastrwan periode 1956-1976 itu pada umumnya seperti terapan Angkatan 45: esaistis, impresionistik, judisial, tanpa analisi ataupun kalau ada analisis tidak mendalam dan merenik mengenai semua norma sastranya.
- Kelompok Kritikus Akademik
Corak pertama kritik sastra akademik ini berlangsung sampai kurang lebih pertengahan tahun 1970-an. Sesudah itu, kritik sastra akademik itu diteruskan kritik sastra akademik corak kedua, yaitu kritik sastra yang didasari oleh teori sastra dan kritik sastra tertentu dengan metode khusus, yang benar-benar memberikan corak ilmiah kepada kritik dan penelitian satra.
Dalam periode 1956-1975, corak kritik akadeik ini, pertama kali, dicirikan oleh penulisan dari kalangan akademis; kedua, corak ilmiahnya dicirikan oleh metode kritiknya yang ilmiah, yaitu dengan pembicaraan yang sistematis, dengan pembuktian dan argumentasi yang bersifat ilmiah, dengan sandaran yang dapat dipertanggung jawabkan, misalnya dengan pendapat para ahli yang bersangkutam, dan memandang karya sastra sebagai objek penelitian, disamping juga mempergunakan metode ilmiah yang umum. Jadi, orientasinya objektif, metode penelitian ilmiah. Kritik sastra ilmiah ini pertama kali dilakukan oelh para kritisi dari kampus (Fakultas Sastra UI) Rawamangun. Dengan demikian, kemudian diberi nama kritik sastra aliran Rawamangun.
Kritik sastra ilmiah ini memandang kritik sastra sebagai kegiatan ilmiah, bukan kegiatan seni kreatif. Oleh sebab itu, hasil kritiknya atau kritik terapnya bersifat intelektualistis, analitik, dan induktif meskipun tidak mengambaikan objeknya sebagai karya seni yang memerlukan penikmatan emosional dan intuitif. Corak kritik analitik tampak awal pembicaraan Umar Junus yang mengemukakan hal-hal yanf akan dibicarakan kurang lebih sistematik seperti kutipan berikut.
….dan Belenggu dianggap orang sebagai suatu yang membawa persoalan baru lagi. Berdasrkan ni saya ingin untuk meninjau kembali Belenggu ini. Dan dalam peninjauan ini, saya akan memakai beberpa pembagian:
- Hal yang dikemukakan penulis,
- Karakterisasi pelaku,
- Peristiwa-peristiwa,
- Penulis dan ciptaannya.
Dan tentang Gaya Bahasa tak akan saya bicarakan sekarang ini sebab hal ini memerlukan penyelidikan secara perbandingan yang tak mungkin dikerjakan dalam waktu singkat.
Dari kutipan itu tampak rencana kerja yang intelektual dan rencana penelitan yang analitik.
Corak ilmiah yang sistematik, analitik, dan indukatif itu lebih jelas lagi dalam kritik terapan berupa penelitaian untuk skripsi sarjana para kritikus dari Fakultas Sastra UI. Kritik terapan tersebut berupa kritik sebuah norma atau novel, beberapa cerita pendek, drama dan puisi seorang pengarang. Judul-judul buku itu sudah menunjukkan apa yang dikritik, seperti romah Atheis: Achdiat K. Mihardja (1962) oleh Boen S. Oemarjati; Sitor Situmorang sebagai Penyair dan Pengarang Cerita Pendek (1963) oleh J.U. Nasution, juga ditulis oleh Pujangga Sanusi Pane (1963); Jalan Tak Ada Ujung Mochtar Lubis, (1963) oleh M.S. Hutagalung, juga olehnya adalah Tanggapan Dunia Asrul Sani (1967); Pramedya Ananta Toer Karya Seninya (1963) oleh Bachrum Rangkuti; dan Hamka sebagai Pengarang Roman (1964) oelh Junus Amir Hamzah. Disamping itu, ada sebuah kritik terapan yang membicarakan puisi Indonesia dalam salah satu periodenya berjudul Perkembangan Puisi dalam Masa Duapuluhan (1963) oleh Fachruddin Ambc Enre.
Pendapat- pendapat pengkritik diperkuat dengan kutipan pendapat para ahli yang bersangkutan dengan masalah. Pembukrtian atau argumentasi disertai dengan penunjukan angka tahun dan halaman-halaman buku yang diacu untuk akuratnya. Bab-bab itu menunjukkan “analisi” atau masalah-masalah yang dibicarakan jadi dengan bentuk atau wujud kritik demikian itu, kritik terapan tersebut tampak ilmiah. Sistematik, metodik, analitik, dan objektif. Sebagai contoh buku Boen S. Oemarjati Roman Atheis; Achdiat K. Mihardja dibagi menjadi beberapa bab (tidaj diberi angkan olenya); (1) ”pengarang tinjauan” dibagi menjadi “pengarang dan bukunya” dan “catatan terhadap Ulang Cetak Atheis”, (2) “Sinopsi”, (3) “Sambutan Masyarakat”, (4 ) “Di Tengah Karya-Karya Sezamannya”, (5) “Persoalan”, (6) “Tema”, (7) “Teknik Penulisan dan Komposisi”, (8)” Unsur-Unsur Roman , dibagi menjadi “Imajinasi, Emosi dan Pengetahuan”, (9)”Perpaduan Elemen-Elemen Imajinasi, Emosi< dan Pengetahuan”, (10) “Perwatakan”, (11) “Plot’, (12) “Gaya”, (13) “ penutup”.
Mengkritik karya sastra sesungguhnya menerangkan makna, merebut makna, atau memberikan makna karya sastra sampai pada penerangan nilai atau penilain karya sastra yang dikritik. Dengan demikian, karya sastra dianalisis menjadi beberapa unsur, seperti yang dilakukan oleh kritikus akademik itu.
J.u. nasuttion kelihatan sangat analitik dalam menganalisis usur-unsur puisi dalam sajak-sajak Sanusi Pane. Akan tetapi, analisis unsur-unsur kepuitisan yang dibacarakan itu kurang lengkap. Unsur-unsur puisi Sanusi Pane yang dianalisis dikemukakan adalah (a) persajakan, (b) ulangan kata, (c) jumlah suku kata, (d) kombinasi dan ulangan kata yang khsusu, (e) pengulangan pernyataan dan, (f) Ukiran bentuk (tipografi).